Ketika membaca opini publik pada setiap suasana menjelang pilkada, maka tak jarang mereka lebih banyak memberikan perhatian kepada media sosial. Selama momentum ini, media sosial banyak menyampaikan pesan-pesan berbau politik sebagai bentuk kampanye menyemarakkan pilkada. Meskipun media sosial bukan satu-satunya media massa yang menjadi penyalur pesan politik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi media sosial selama kontestasi pilkada juga turut mendominasi.
Dalam era kebebasan pers dan media massa ini membuat jurnalis mempunyai kebebasan yang penuh dalam hal meliput segala macam bentuk kegiatan politik. Meskipun demikian, posisi media juga harus memiliki kejelasan dalam arus politik selama pilkada.
Misalnya seperti apakah media tersebut secara terbuka ikut menjadi saran politik yang praktis karena kedekatan yang terjalin antara paslon dengan media ataukah media hanya memerankan peranan yang ada di balik layar teater pilkada. Dan apakah media mungkin bersikap netral ataukah justru membela atau memihak kepada kelompok tertentu?
Sebenarnya media messa berjenis apapun harus memiliki sifat yang independen dan tidak boleh memihak atau bersikap partisan terhadap salah satu paslon. Hal ini dikarenakan media massa atau pers adalah milik rakyat dan bukan milik golongan ataupun kepentingan tertentu.
Prinsip-prinsip dasar yang harsu digenggam oleh media massa termasuk media sosial adalah kebebasan dan independensi, keanekaragaman dan akses, keterlibatan dan solidaritas, serta objektivitas dan kualitas informasi yang dibawakan.
Oleh sebab itu, menjelang momentum pemilihan kepala daerah, independensi dari media sosial, maupun media elektronik dan media cetak lainnya harus dijaga kestabilan dan dibentengi dari pengaruh-pengaruh bias politik praktis. Hal ini dikarenakan media sosial ataupun media lainnya dapat memberikan pengaruh yang cukup luas di mata masyarakat.
Kampanye secara virtual atau melalui iklan yang di pasang pada platform digital biasanya akan cenderung lebih digemari oleh masyarakat luas. sebab, platform digital seperti media sosial memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan media konvensional.
Bukan hanya itu, partai maupun kandidat pilkada juga dapat memasang iklan yang dapat dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen politik secara online. Kemudian kelebihan yang berikutnya terdapat pada pendistribusian iklan yang bisa ditarget secara spesifik pada berbagai macam kelompok di masyarakat. Hal tersebut dapat sesuai dengan lokasi geografis, demografis, klasifikasi umur, isu yang menjadi sorotan dan masih banyak lagi.
Namun di samping kelebihan yang dimilikinya, metode kampanye secara virtual juga tidak terlepas dari kekurangan. Beberapa kekurangan yang dimiliki misalnya adalah penargetan iklan politik yang kemungkinan bisa mengancam privasi bagi individu, pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilaku dalam menjelajah secara daring yang bisa memberikan informasi cukup bagi pengiklan untuk menemukan, menyingkap dan memetakan kecenderungan dari preferensi politik pengguna.
Kemudian berdasarkan dari pemetaan ini, individu kemudian bisa rawan menerima informasi yang telah termanipulasi. Dari sini terjadinya disinformasi hingga deep fake dapat tumbuh subur serta luput dari pengawasan, sebab hanya pengguna platform digital tertarget yang bisa melihatnya.
Selain itu, hal lain yang menjadi kekuranganya adalah biaya iklan. Biaya iklan politik di media sosial atau media virtual lain yang harus dikeluarkan bisa memberikan keuntungan bagi partai yang mempunyai dana kampanye relatif besar dibandingkan partai yang mempunyai dana relatif kecil.
Hal tersebut bisa menyebabkan tertahannya ide-ide politik dari partai yang memiliki dana kampanye relatif kecil terdistribusi secara luas ke publik. Partai juga kemungkinan akan semakin bergantung dengan platform digital seperti media sosial dalam menjalankan kampanye politiknya.
Setiap penyiaran yang dilakukan tentu harus mengacu pada pedoman yang ada. Sesuai dengan pasal (2) dalam KPI maka, lembaga penyiaran wajib memilikis sikap yang adil dan proporsional terhadap peserta Pemilu/Pilkada, kemudian pada pasal (3) disebutkan bahwa lembaga penyiaran dilarang bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilu/Pilkada.
Dalam pasal KPI ayat (4) juga menerangkan bahwa setiap lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan berita atau program apapun yang didanai atau disponsori oleh peserta Pemilu/Pilkada. Selain itu, dalam KEJ (Kode Etik Jurnalistik) terutama pada pasal (1) yang berbunyi, Wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, serta tidak memiliki itikad yang buruk.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa jurnalis dari setiap lembaga penyiaran harus memahami betul kewajibannya dari mulai pencarian kebenaran, loyalitas pada warga negara, disiplin verifikasi, idependensi dari objek yang diliput, serta harus bisa menempatkan dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan tersebut.
Jurnalis harus menyediakan tempat atau forum bagi public agar dapat menyampaikan kritik dan saling berkompromi. Jurnalis juga harus berusaha untuk membuat hal yang sifatnya penting menjadi menarik namun tetap relevan. Berita yang dibawakan oleh jurnalis harus proporsional dan komprehensif.
Dalam hal kontestasi politik, semua media dan jurnalis tidak diperbolehkan untuk bersikap partisan. Bagaimana cara untuk menjaga independensi, netralitas, objektifitas, proporsionalitas, serta akurasi dari informasi sangat diperhatikan dalam penyampaiannya kepada publik.
Nah itu dia penjelasan mengenai media sosial dalam kontestasi pilkada terkait dengan posisiny, kelebihan dan kekurangan, hingga peranan yang ditempati. Dalam setiap kontestasi baik Pemilu maupun Pilkada, rambu-rambu regulative-etis harus dijadikan sebagai pedoman oleh jurnalis dan media termasuk media sosial, dan media massa lainnya yang memiliki peran untuk menyampaikan pesan politik.
PT Media Promosi Online
Jalan Cimanuk No. 6
Bandung 40115 - Jawa Barat
Indonesia
Informasi