Ajang pesta rakyat menjadi penantian setiap lapisan masyarakat untuk memberikan suaranya demi pergantian pemimpin yang baru. Mengingat mungkin ada kekecewaan di kepemimpinan sebelumnya atau perlunya menanggapi banyak evaluasi yang diberikan untuk segera ditindaklanjuti.
Pilkada atau dikenal dengan pemilihan umum kepala daerah. Kebijakan yang dilaksanakan pada setiap daerah dipegang oleh kepala daerah. Hal tentu terlihat dari bagaimana cara kepala daerah mengatasi persoalan-persoalan di daerahnya. Keberhasilan akan menjadi contoh bagi yang lain.
Namun hal ini tidak kurang menuai pro dan kontra pilkada ketika menjelang pelaksanaannya. Pro dan kontra ini muncul seiring evaluasi sebelumnya. Sehingga untuk memulai kembali kegiatan pilkada, masyarakat kembali menilai dan membuat opini agar tidak terjadi seperti yang sudah-sudah.
Hal tersebut terjadi tidak hanya pada opini publik secara langsung di lapangan. Melainkan juga terjadi di media sosial. Faktornya juga beragam.
Seperti dua tahun sebelumnya, pandemi pada puncaknya tahun 2020 menuai pro dan kontra pilkada. Bukan masyarakat menolak hal yang ditunggu selama lima tahun sekali, melainkan pandemi covid-19 saat itu sedang darurat di Indonesia.
Kedua hal penting yang membuat perbedaan pelaksanaan menuai opini pembatalan atau pengunduran pilkada. Sebab pelaksanaan pilkada membutuhkan mengumpulkan masa yang besar, sedangkan untuk kondisi pandemi harus menghindari pengumpulan massa.
Hal ini yang menyebabkan banyak pro dan kontra pelaksanaan pilkada diperbincangkan di media sosial. Seperti yang diteliti oleh Silalahi (2021) tentang "Pengaruh Pro dan Kontra Pilkada 2020 pada Media Sosial Twitter (Drone Emprit: Pilkada 2020 Pro dan Kontra)." Dalam penelitiannya ia menyatakan bahwa sekitar sebanyak 175K atau 175 ribu percakapan tercatat sebagai data komunikasi politik di droneemprit.id terkait trend pilkada.
Jika pelaksanaan pilkada tertunda, maka pelaksanaan tugas dan fungsi daerah sementara dialihkan kepada pihak pejabat pelaksana harian (plh) atau pejabat pelaksana tugas (plt). Ini berlaku setelah habis masa jabatan.
Namun kedua pejabat tersebut menuai argumen dari pihak pengamat politik, yakni Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI (Universitas Indonesia) Aditya Perdana yang dilansir oleh Kompas pada Rabu (23/9/2020) bahwa kebijaksanaan tidak dapat diambil secara langsung, mengingat kepala daerah memiliki fungsi untuk mengambil keputusan yang strategis.
Dalam hal darurat tentu pelaksanaan pilkada sangat penting untuk mengambil keputusan yang tepat demi terselesaikannya masalah. Mengingat plh dan plt bisa saja kurang optimal tanpa adanya kepemimpinan baru.
Selain itu, pro dan kontra pilkada menuai bahan pertimbangan lainnya. Seperti dilansir dari sumber informasi yang sama, dengan pendapat yang diberikan oleh mantan wakil presiden, Yusuf Kalla bahwa mengangkat plh dan plt tidak akan menjadi masalah. Selama ini masih berjalan dengan baik dan pelaksanaan tugas oleh pemimpin yang baru masih dilaksanakan tahun berikutnya. Mengingat legalitas penundaan telah memiliki alasan yang cukup.
Selanjutnya perihal penundaan dengan alasan melibatkan kondisi masyarakat sebenarnya cukup kuat untuk tetap dilaksanakan. Seperti yang telah diatur dalam Pasal 120 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) nomor 2 tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang dinyatakan dalam hal adanya bencana alam atau non alam yang mengakibatkan sebagian pelaksanaan tidak dapat dilaksanakan serentak, nantinya akan dilaksanakan pada pemilihan lanjutan.
Pada tahun 2020 contohnya. Terdapatnya pro dan kontra pilkada saat pandemi, membuat pilkada diputuskan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Pelaksanaan ini mundur dari rencana tanggal 23 September 2020 akibat pandemi covid 19.
Mundurnya pelaksanaan menuai pro dan kontra. Sebab di samping akan berdampak pada kesehatan masyarakat, juga keperluan mengisi pergantian jabatan kemimpinan daerah.
Selanjutnya, pilkada juga tidak mungkin menunggu berhentinya pandemi. Mengingat negara manapun belum mengetahui kapan pandemi berakhir. Ini dituturkan oleh Jokowi dalam lama CNN pada tahun 2020 lalu. Selain itu, ia juga menegaskan pilkada dilaksanakan dengan menggunakan dan mematuhi protokol kesehatan ketat. Keselamatan menjadi hal utama. Risiko bisa diatasi jika semua permasalahan kesehatan mampu ditangani.
Hal tersebut menjadi pro dan kontra selanjutnya. Karena ternyata pada bulan Desember 2020 lalu pandemi memang belum usai.
Selain pandemi belum usai, menurut catatan informasi news.detik.com dari keterangan Sodik Mujahid, Anggota Komisi DPR II Fraksi Gerindra menegaskan bahwa jumlah peserta pilkada ada 300-an. Keterangan ini sekaligus menepis rumor yang beredar dan menjadi pro dan kontra pilkada tahun 2020 karena calon kandidatnya adalah putra dan menantu Jokowi yang maju di pilkada.
Mencermati keterangan tersebut, peserta yang tidak sedikit ini akan menjadi masalah jika pilkada tidak berhasil dilaksanakan. Bukan soal kepentingan yang tampak pribadi, melainkan banyaknya daerah yang membutuhkan regulasi kepemimpinan dan penyegerahan solusi atas permasalahan yang terjadi saat pandemi.
Pro dan kontra muncul sebab peserta tidak sedikit. Di samping itu, belum lagi jika kampanye dilaksanakan. Baik di ruang terbuka maupun yang dilaksanakan di media sosial elektronik. Untuk pelaksanaannya kampanye sendiri, saat tahun 2020 pemerintah daerah telah diminta mempersiapkan jaringan internet yang memadai dan luas untuk keperluan kampanye calon kepala daerah.
Selebihnya pro dan kontra pilkada muncul di media sosial juga karena ada pihak yang ingin mengungkapkan pendapatnya di media sosial. Komentar dan banyaknya ujaran sebagai bagian dari bentuk negara demokrasi, tentu menjadikan pro dan kontra itu sendiri muncul. Namun hal ini perlu disikapi dengan cukup tanpa berlebihan. Agar ujaran tidak menimbulkan opini kebencian dan perpecahan hanya karena politik, sehingga mendapatkan sanksi pidana.
PT Media Promosi Online
Jalan Cimanuk No. 6
Bandung 40115 - Jawa Barat
Indonesia
Informasi