Media sosial dan Pilkada merupakan perpaduan yang bisa sangat menguntungkan, tetapi juga sangat merugikan. Dengan diperbolehkannya melakukan kampanye secara resmi di media sosial pada Pilkada tahun 2020, membuat banyak pihak harus turun tangan untuk mengawasi agar kampanye berjalan dengan baik.
Literasi, transparansi dan regulasi harus tingkatkan dan disiapkan dengan baik pada saat kampanye di media sosial berlangsung. Penyebaran hoaks sangat mudah menyebar dan ancaman kejahatan cyber terus mengintai. Oleh karena itu, semua pihak harus ikut bekerja sama dalam melindungi ketertiban media sosial selama masa kampanye.
Menjelang hingga masa kampanye seharusnya pihak-pihak atau akun yang berpengaruh harus meningkatkan literasi politik pengguna media sosial. Literasi politik artian secara singkat yaitu merupakan senyawa antara pengetahuan, sikap dan kemampuan dalam menyikapi realitas politik.
Literasi politik bertujuan agar menghidupkan kesadaran warga untuk mau dan mampu ikut serta dalam agenda politik dan juga berpolitik secara rasional, kritis dan bertanggung jawab. Orang yang memiliki literasi politik tinggi akan mempunyai perhatian dan kepedulian untuk terlibat dalam proses politik yang dinamis.
Masyarakat Indonesia masih rendah terhadap literasi politik, sehingga politisasi isu SARA dan politik identitas sangat subur di Indonesia. Apalagi mereka aktif di media sosial yang sangat cepat untuk menyebarkan hoaks dan isu-isu tersebut.
Sedangkan, literasi media harus ditingkatkan agar masyarakat mampu mendeteksi dan menyikapi hoaks, disinformasi, ataupun berita provokasi dengan tepat. Oleh karena itu, media sosial dan Pilkada harus disertai dengan literasi politik dan literasi media yang tinggi pada masyarakatnya.
Pengguna media sosial harus didorong oleh pihak-pihak yang berpengaruh untuk mendapatkan edukasi terkait literasi politik. Banyak pihak yang bisa memberikan edukasi literasi politik kepada masyarakat karena sifatnya yang tidak mendukung suatu pihak. Mulai dari pihak lembaga, pihak media sosial, politisi, tokoh agama, bahkan influencer.
Pihak-pihak tersebut bisa melakukannya sendiri atau bekerja sama dalam memberikan edukasi literasi politik kepada pengguna media sosial. Contoh bekerja sendiri misalnya dengan mengunggah konten di akun pribadi untuk memberikan pesan-pesan yang sejuk untuk mencerahkan pandangan masyarakat terkait keberagaman.
Contoh cara bekerja sama yaitu misalnya pihak TikTok atau Instagram mengadakan live dengan mengundang berbagai pihak penting yang berbeda untuk membahas dan mengedukasi tentang keberagaman dan urgensi partisipasi dalam membangun daerah.
Transparansi dalam media sosial dan Pilkada sosial terkait iklan kampanye harus diberikan regulasi oleh KPU. Hal ini untuk melindungi calon pemilih dari gempuran personalisasi iklan kampanye di berbagai platform media sosial hingga media digital lainnya. Berikut ini contoh negara yang memberikan regulasi terkait transparansi kampanye digital.
Pemerintah Prancis memberikan peraturan dalam tiga bulan sebelum pemilu, platform online harus memberi informasi kepada penggunanya tentang siapa yang membiayai promosi konten yang berkaitan dengan debate of general interest (debat kepentingan umum).
Platform digital tersebut harus memberitahu pengguna tentang penggunaan data pribadi dalam segala konteks informasi yang berkaitan dengan kampanye. Hal ini bertujuan agar diketahui apakah konten kampanye ini benar-benar dari tim kampanye resmi dan bukan dari pihak lain yang seharusnya tidak boleh melakukannya.
Terdapat sejumlah rekomendasi reformasi undang-undang pemilu di Inggris yang berlaku untuk iklan kampanye politik online. Peraturan pertama yaitu mengenai iklan kampanye yang harus diberi label agar sumber yang memasang iklan tersebut jelas.
Kedua, juru dan tim kampanye harus diminta agar memberikan faktur yang lebih detail dan bermakna dari platform digital yang mereka pakai untuk meningkatkan transparansi. Dengan begitu, pengguna media sosial bisa terlindungi dari gempuran kampanye personalisasi online dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Di Australia, salah satu cara untuk transparansi iklan kampanye politik yaitu dengan harus melabeli iklan yang tayang dengan kalimat “disetujui oleh”. Dengan cara ini, setiap pihak yang memasang iklan tersebut bertanggung jawab terhadap kejadian apa yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Media sosial dan Pilkada memerlukan regulasi yang jelas dan rinci. Banyak fitur iklan atau kampanye lainnya di media sosial sehingga perlu pengaturan yang jelas tentang bagaimana penggunaan media sosial yang diperbolehkan dalam kampanye politik. Banyak pihak yang harus ikut turun tangan dalam regulasi kampanye di media sosial.
Misalnya, tidak hanya pihak penyelenggara Pilkada yang mengawasi, mencegah dan menindak setiap pelanggaran kampanye atau penyebaran hoaks yang terjadi di media sosial. Namun, untuk mencegah dan mengantisipasi penyebaran hoaks atau disinformasi terkait Pilkada di media sosial, pihak platform media sosial pun perlu digandeng.
Contohnya pada Pilkada tahun 2020 lalu, Noudhy Valdryno sebagai peneliti di Politic and Government Outreach Facebook Indonesia mengatakan bahwa Facebook Indonesia melakukan kerja sama dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk mengantisipasi penyebaran misinformasi dan disinformasi konten di media sosial.
Pedoman etika dalam berkampanye di media sosial diadakan agar publik terlindungi dari upaya menyalahgunaan kebebasan berekspresi dan berpendapat di media sosial. Jika hal ini tidak diatur, banyak pihak yang tidak bertanggung jawab menggunakan dalih kampanye untuk memberikan propaganda komputasi nasional.
Pembahasan mengenai Media sosial dan Pilkada di Indonesia memang harus bahas kembali dan dimaksimalkan dalam hal literasi, transparansi, dan regulasinya. Hal ini karena mungkin saja Pilpres mendatang pun akan diperbolehkan untuk kampanye di media sosial.
PT Media Promosi Online
Jalan Cimanuk No. 6
Bandung 40115 - Jawa Barat
Indonesia
Informasi